Jumat, 12 Juni 2015

RIWAYAT HIDUP PUANG TARONGKO



Puang Tarongko tinggal di tongkonan  Mamullu Makale . Dia lahir dari ayah bernama Puang Mamullu  yang merupakan anak dari Puang Massora dari Tongkonan Tangti  Mengkendek  dan ibu bernama Puang Tumba’ Makongkan yang merupakan anak dari  Puang Tumba’ Payung Allo dari Tongkonan Tarongko  Makale dan Puang Makongkan dari Tongkonan Bebo’ sangngalla’. Puang Tarongko juga biasa dipanggil  Puang Laso’ Sesa karena sebenarnya dia mempunyai  beberapa saudara kandung , cuma semuanya meninggal pada waktu masih mudah sehingga tinggal  dia sendiri yang   hidup.
Puang Tarongko dalam kehidupan rumah tangganya beberapa kali menikah  ke berbagai  kampung di tallu lembangna terutama di Makale dengan tujuan untuk memperkuat kekuasaannya.
Perkawinan pertama dia kawin dengan tumba” Manukallo dari  Tongkonan Manggau Makale dan melahirkan Puang Manukallo  yang diberi gelar Puang Andi”Lolo oleh  bangsawan Kerajaan Sidenreng setelah diutus oleh puang tarongko ke daerah Bugis untuk mempelajari bahasa Lontara’ dan strategi perang.
            Perkawinan kedua dia kawin dengan Puang Tangnga Layuk dari  Tongkonan   Rante Dada Tampo mengkendek dan melahirkan Puang Indo’ Ranteallo, Puang Laso’ Tampo (Puang Pantan) dan Puang A .Ranteallo ( Puang Tondon).
Perkawinan ketiga dia kawin dengan Tumba’ Todingallo dari Tongkonan Batupapan  Makale  dan melahirkan Puang Toding Allo ( Puang Ranteallo ).
Perkawinan keempat dia kawin dengan Tumba’ Salu Rapa’ dari Tongkonan Lallangan Tondon Makale dan melahirkan Puang Sumbung Massora dan Puang Lai’ Tambing.
Perkawinan kelima dia kawin dengan Tumba’  Arung La”bi”( Tumba’ Kende’) dari Tongkonan Tambolang Sarira  Rantelemo , tapi tidak mendapatkan keturunan.
Perkawinan keenam dia kawin dengan Tumba’  Tongan  dari Tongkonan Borong, Sarira Rantelemo dan melahirkan Puang Lai’ Sa’dan.
Perkawinan ketujuh dia kawin dengan Tumba’ Datu Bubun dari Tongkonan To’pao Mandetek Makale dan melahirkan Puang Baratu.
Perkawinan kedelapan dia kawin dengan Tumba’ Pidun dari Mengkendek dan melahirkan Puang Sumbung ( Pidun ).
Perkawinan kesembilan dia kawin  dgn Tumba’  Liling dari Tongkonan  Makula’ sangalla’ tapi tidak menghasilkan keturunan.
Puang Tarongko dalam pemerintahannya banyak mengorbankan harta bendanya berupa tanah kering dan sawah untuk memperluas kota Makale.  Pada mulanya  tempat  yang bernama Ma’kale  adalah daerah disekitar Rante kasimpo, Kamali dan Batupapan.    Bombongan yang merupakan pusat kota Makale saat ini,  pada waktu itu sebagian besar masih  merupakan daerah persawahan,  kemudian  berkembang dengan dibentuknya  pemukiman baru di To’ Kaluku’/Paku/Tongkonan Ada’ ,  Mamullu, Kampung Pisang dan Kampung Baru , yang   menjadi pusat kota Makale  sekarang ini.
Puang Tarongko dikenal sebagai seorang yang  sangat baik hati dan  dermawan karena sering memberikan tanahnya kepada masyarakat yg tidak mempunyai tanah untuk membangun rumahnya  tanpa melihat asal usulnya; baik masyarakat asli toraja maupun pedagang-pedagang yang berasal dari  daerah bugis . Mereka  mendapatkan tanah untuk membangun rumahnya  di  to’ kaluku/paku, mamullu, kampung pisang  dan kampung baru  sekaligus membangun pasar untuk tempat berdagang, sehingga lama kelamaan berkembang menjadi  pusat kota makale sekarang ini.   Sebagai ucapan terima kasih atas pemberian tanah tersebut biasanya pedagang bugis atau masyarakat  memberikan rokok yang ditaruh dalam bambu (pelo’ pa’langga’) dan ikan kering(kandilo’ dll)  serta  barang-barang lain yg dibutuhkan pada waktu itu. Itulah sebabnya puang tarongko sangat disenangi oleh masyarakat terutama yang belummempunyai tempat tinggal disekitar makale.
Kolam yang ada saat ini pada mulanya merupakan sawah milik Puang Tarongko yang  setiap musim panen  hasilnya  berupa padi dan ikan   sengaja disumbangkan kepada masyarakat Makale dan sekitarnya .  Sawah ini setelah ditanami padi juga dimasukkan  bibit ikan . Pada waktu sudah mau panen  maka Puang  Tarongko mengumumkan kepada seluruh masyarakat  untuk datang beramai-ramai  memperebutkan padi dan ikan yang ada dalam sawah tersebut. Puang Tarongko sengaja membuat pondok ditengah-tengah sawah tersebut untuk menyaksikan pesta keramaian  , dimana dia melihat  masyarakat  memperebutkan padi dan ikan  yang ada dalam sawah tersebut. Karena pesta keramaian ini dilaksanakan secara rutin  setiap musim panen tiba, maka masyarakat yang hadir  bukan hanya masyarakat makale saja tapi  ada juga yang datang dari tempat  -tempat  lain. .
Setelah pemerintahan  kabupaten Tanah Toraja  terbentuk maka untuk memperintah kota Makale ,  pematang sawah tersebut ditembok sehingga menjadi kolam  dan ditengah-tengah kolam  tersebut  yang dulunya merupakan  tempat pembangunan pondok peristirahatan  Puang Tarongko, pada saat ini sudah dibangun tugu  berupa patung dari Puang Laki Padada  yang juga merupakan  nenek dari Puang Tarongko.
Puang laki Padada  beserta keluarga kerajaan yang tinggal di sangalla’  pada waktu itu , diserang  wabah penyakit yang  mematikan ( ra’ba biang ) menyebabkan banyak  keluarganya yang meninggal, sehingga untuk menghindari kematian yang meraja lelah tersebut,  maka  bukan saja Puang Laki Pada yang meninggalkan sangalla’, tetapi beberapa orang  keluarganya  yang  masih tersisa  melarikan diri dari  Toraja ( sangalla’ ) untuk mencari kehidupan (undaka’ tangmate) ke  beberapa daerah atau kerajaan, dan saat ini mereka sudah  susah dilacak keberadaannya  karena  sebagian  sudah tidak pernah kembali , karena  mungkin sudah kawin dengan masyarakat setempat dan  sudah berganti nama, karena adanya pemberian  nama  gelar atau mendapat nama panggilan baru menyesuaikan daerah yang ditinggali. Ada versi lain mengatakan bahwa eksodus  beberapa anggota keluarga kerajaan dari sangalla’ pada waktu itu, disamping wabah penyakit yang mematikan (undaka’ tangmate),  juga disebabkan  karena adanya perpecahan dalam tubuh kerajaan  di sangalla’ pada waktu itu.
            Puang Laki Padada  sendiri merupakan rombongan terakhir yang  meninggalkan sangalla’  untuk mencari kehidupan (undaka’ tangmate) dan dia  terdampar di Kerajaan Goa. Karena dia seorang pemberani dan sangat sakti  maka dia  disenangi oleh Raja Goa dan dia menikah dengan putri Raja Goa  yaitu Batari Lolo dan  diberi gelar Karaeng Bojoe  oleh Raja Goa .  Dia diberi gelar Karaeng Bajoe karena pada saat dia tiba dikerajaan goa, beberapa bagian tubuhnya  sudah ditumbuhi  lumut  karena sering menyebrangi sungai, rawah , bahkan  laut.          Dalam menyebrangi atau melewati sungai, rawa dan laut tersebut ,  puang Laki Padada sering dibantu oleh beberapa binatang seperti ikan belut besar(masapi) dan kerbau putih (tedong bulan)  dll, sehingga pada umumnya keturunannya tidak memakan binatang yang banyak membantu Puang Laki Padada  tersebut , karena adanya sumpah atau perjanjian  yang telah ditetapkan.
            Setelah anak-anaknya sudah mulai dewasa maka dia menyuruh anaknya yaitu Puang Patta La Bantan kembali ke Toraja untuk meneruskan kepemimpinan orang tuanya  dan  sesampainya disana dia  membangun Tongkonan Layuk Kaero . Untuk  melindungi dirinya dalam perjalanan dia dibekali  parang atau la’bo’ pinai yang sangat sakti dan beberapa harta warisan yang  saat ini masih  tersimpan di Tongkonan Layuk Kaero. Kemudian anaknya , Puang Patta La  Bunga pergi ke Kerajaan Luwu’ dan untuk melidungi diri dalam perjalanan dia diberi Tomba’  bermata/berkepala  tiga yang sangat sakti dan  beberapa harta warisan lainnya.
Pada saat puang sangngalla’ atau Puang Laso’ Rinding meninggal  dan dipestakan , maka rombongan dari Kerajaan Luwu’  yang datang  untuk ikut berbelah sungkawa dengan membawa Tomba’ bermata  tiga  tersebut  dan sempat diarak keliling arena upacara.
Kemudian anaknya,  Puang Patta La Merang tinggal di Kerajaan Goa bersama orang tuanya.  Ada versi lain mengatakan bahwa Puang Patta La Didi  yang pergi ke kerajaan Bone, juga merupakan anak dari Puang Lakipadada, sehingga sebenarnya dia mempunyai 4 org anak yang dikenal dengan istilah tallu pocoe, appa pada pada yang artinya tiga saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Hubungan keempat bersaudara ini sangat erat yang  dikenal dgn istilah: sombae ri gowa, pajuang ri luwu’, matasak ri toraja dan mangkau ri bone.
Jadi patung puang Laki Padada yang ada ditengah-tengah kolam tersebut merupakan simbol tentang adanya hubungan historis antara Toraja, Luwu’ , Bone dan Goa.
Untuk melestarikan budaya keramaian di kolam tersebut , maka seharusnya pemerintah Kabupaten Tanah Toraja melanjutkan  tradisi yang telah dirintis oleh puang Tarongko  yang telah menyerahkan sawahnya secara Cuma-Cuma untuk  tempat acara pesta keramaian dengan memasukkan bibit ikan dalam kolam tersebut dan pemanenan ikan bisa dilaksanakan dengan mengeringkan kolam  dan masyarakat  beramai-ramai  bisa memperebutkan ikan  dalam kolam tersebut  untuk memeriahkan   hari ulang tahun Kabupaten Tanah Toraja atau meramaikan hari Natal atau Tahun Baru  setiap Tahun.
Dalam menjalankan kekuasaannya Puang Tarongko banyak mengalami hambatan dan persaingan,  diantaranya adalah terjadinya perselisihan  dengan Puang  Mengkendek yaitu  Puang Randanan  yang disebabkan oleh banyak hal dan salah satunya adalah harta warisan., sehingga Puang Mengkendek  menyerang Puang Tarongko dengan pasukannya dan mengepung Tongkonan  Mamullu sebagai pusat pemerintahan dan markas pertahanan pasukan  Puang Tarongko.
Pada saat Tongkonan  Mamullu diserang dan dikepung oleh pasukan puang Randanan, puang Tarongko saat itu berada di Sarira Rantelemo karena dia kawin dengan Tumba’ Arung La’bi’ dari Tongkonan  Tambolang  Rantelemo .
Setelah Puang Tarongko mendengar bahwa Tongkonannya diserang dan dikepung oleh pasukan Puang Randanan, maka dia memerintahkan pasukannya yang ada disana untuk bertahan dan Puang Tarongko mengkoordinir pasukan dari Sarira Rantelemo yaitu dari Tongkonan Biang, tongkonan Karassik, Tongkonan Tambolang , Tongkonan Timika , Tongkonan Borong  dan Tongkonan Sarre dibawah pimpinan Ne’ Bua’ Tasik, Ne’ Tangke Tasik, Ne’ Toding Bua’ , Ne’ Senobua’ ,Ne’ Payung dan semua  Tobarani termasuk  dari limbu sarira rantelemo untuk berangkat ke tongkonan  mamullu untuk membantu pasukan puang tarongko yang sudah ada disana yang sementara berperang mempertahankan tongkonan  mamullu dari serangan musuh.
Dengan kedatangan pasukan tambahan dari rantelemo tersebut maka terjadilah perang yang cukup dahsyat yang menyebabkan pecahnya perang saudara antara Makale dan Mengkendek pada waktu itu.
Namun karena diserang dengan tiba-tiba maka puang tarongko tidak bisa mempersiapkan perang dalam waktu yg cukup lama, sehingga karena kehabisan peluru dan perlengkapan perang lainnya maka puang tarongko memutuskan untuk mengundurkan diri dulu kembali ke rantelemo untuk mempersiapkan serangan balasan. Memang tidak sama dengan perang saudara sebelumnya yang masih mengandalkan parang, tombak dan senjata tajam lainnya sebagai peralatan perang, namun pada perang saudara kali  ini sudah mulai  menggunakan senjata api  yang harus dibeli dulu dari daerah daerah Bugis.
Setelah  puang tarongko meninggalkan tongkonan mamullu maka puang randanan dan pasukannya langsung merebut tongkonan mamullu dan mendudukinya. Puang tarongko pada saat mengundurkan diri meninggalkan tongkonan mamullu dan melewati pematang sawah saluaka, maka pasukan puang randanan sempat mengejar dan melepaskan tembakan sehingga peluru mengenai jari tangan dari istri puang tarongko tumba’ Arung La’bi’ sehingga cincinnya terlepas   dari jari tangannya dan jatuh kedalam sawah saluaka. Tumba’ Arung La’bi’  mencoba mencari cincin kesayangannya yang sangat mahal tersebut, tetapi karena pasukan puang randanan mengejar dari belakang , maka pencarian cincin dihentikan dan terus melanjutkan perjalanan. Untuk menghentikan pengejaran tersebut maka pasukan puang tarongko mengadakan serangan balasan sehingga pasukan puang randanan menghentikan pengejarannya.
Setelah puang tarongko tiba kembali di rantelemo maka dia memanggil  panglima perangnya dan anak-anaknya  yang pada saat penyerangan  tdk berada di kota makale , untuk mempersiapkan serangan balasan dan  merebut kembali tongkonan mamullu dari kekuasaan pasukan puang  Randanan.
Pasukan yang dipersiapkan oleh puang tarongko ini merupakan  pasukan gabungan yang terdiri dari pasukan yang dipimpin oleh  anak-anaknya ( puang andilolo, puang tondon/puang pantan, puang todingallo dan anak-anaknya yg lain) dan dibantu oleh pasukan dari tongkonan tambolang  dan tobarani dari sarira rantelemo serta masyarakat makale yang ikut berperang untuk mengusir pasukan puang mengkendek  yang telah menduduki tongkonan mamullu.
Sebagai informasi bahwa  pasukan dari tongkonan tambolang  dan tobarani dari  sarira  rantelemo ini, dikemudian hari pernah terkenal karena berperang dengan pedagang-pedagang dari  kerajaan sidenreng yang dipimpin oleh uwa’ situru’ yang biasa dipanggil andi guru. Perang ini dipicu oleh kesalah pahaman pada saat pesta sabung ayam dan judi yang dilaksanakan di buntang rantelemo. Dalam permainan judi tersebut beberapa  orang pasukan dari tambolang ikut main  judi , namun  terjadi perselisihan  dengan pedagang-pedagang dari sidenreng , sehingga menyebabkan pecahnya perang antara pedagang-pedagang sidenreng yg dipimpin andi guru dan pasukan dari tongkonan tambolang  sarira rantelemo dan sekitarnya.
Pasukan  yang dipimpin andi guru  tersebut  karena jumlahnya  masih terbatas maka mereka mulai terdesak sehingga meminta bantuan pasukan dari kerajaan sidenreng, sehingga datanglah pasukan dari kerajaan sidenreng yang langsung dipimpin oleh panglima perangnya. Sebelum berangkat ke tambolang rantelemo maka panglima perang kerajaan sidenreng tersebut , katanya ditest dulu  kekebalannya dgn membuka bajunya dan  ditembak di bagian dadanya   tidak bisa ditembus peluru.
Namun sesampainya di rantelemo  untuk membantu pasukan pedagang-pedagang sidenreng dan mulai menyerang tongkonan tambolang  sarira rantelemo  dan sekitarnya ,maka dia tewas  bersama dengan  sejumlah pasukannya dalam pertempuran tersebut akibat terlindas oleh batu-batu besar yang sengaja digulingkan dari arah tongkonan tambolang   sebagai salah satu senjata ampuh untuk membunuh pasukan lawan yang akan mencoba menyerang pusat pertahanannya. Pasukan inilah yang sebelumnya  pernah  membantu pasukan puang tarongko memerangi pasukan puang randanan.
Sebelum melaksanakan serangan balasan maka puang tarongko dan anak-anaknya membeli  peralatan perang berupa senjata api dan peluru yang cukup banyak  dari pedagang bugis untuk memperkuat pertahanannya.
Setelah persiapan perang sudah dianggap cukup maka dimulailah serangan balasan yang langsung dipimpin  oleh puang tarongko. Begitu mendapat serangan balasan maka pasukan puang randanan mencoba untuk bertahan. Namun karena kalah dalam jumlah pasukan maka pasukan puang randanan dapat dipukul mundur meninggalkan tongkonan mamullu  dan mengundurkan diri sampai didaerah perbatasan antara makale dan mengkendek.
Puang randanan yang mendapat tambahan pasukan dari mengkendek mulai bertahan didaerah perbatasan tersebut sehingga terjadilah perang habis-habisan yang menyebabkan gugurnya banyak pasukan dari kedua belah pihak. Puang tarongko yang merasa mendapat perlawanan sengit didaerah perbatasan tersebut mencoba mendatangkan pasukan tambahan dari makale sehingga pasukan puang randanan dapat dipukul mundur sampai didaerah sekitar tongkonan puang randanan di mengkendek  dan bahkan tongkonan puang randanan tersebut dapat diduduki  dan dikuasai oleh pasukan puang tarongko dan anak-anaknya.
Untuk merebut kembali tongkonannya yang telah diduduki oleh pasukan puang tarongko dan anak-anaknya maka puang randanan mengkonsolidasikan pasukannya dengan merekrut pasukan tambahan untuk mengadakan serangan balasan untuk mengusir pasukan puang tarongko.
Untuk menghindari perang yang akan berkelanjutan tersebut maka puang  sangngalla’  (puang limbu langi’) turun tangan sebagai penengah dan mengundang kedua belah pihak untuk berdamai. Namun puang randanan mengajukan persyaratan sebelum masuk kemeja perundingan yaitu pasukan puang tarongko harus ditarik mundur dulu kedaerah perbatasan baru perundingan bisa dilaksanakan. Kalau tidak maka puang randanan akan melanjutkan peperangan.
Untuk menghentikan peperangan yang akan berkelanjutan tersebut maka puang  sangalla’ membujuk puang tarongko dan anak-anaknya agar menarik pasukannya ke daerah perbatasan.  Hal ini dengan berat hati disetujui oleh puang tarongko dan anak-anaknya. Setelah penarikan pasukan ke daerah perbatasan  tersebut dilaksanakan , maka perundingan bisa terlaksana  dan perdamaian bisa tercapai.
Agar perang saudara ini tidak terulang kembali dikemudian hari maka diadakanlah tananan basse dan mengikat sumpah keramat dengan mengubur seekor kerbau bertanduk tekken langi’. Kemudian disepakati bahwah perang dianggap selesai dan barang siapa dari kedua belah pihak yang menyerang lebih dahulu maka akan mendapat hukuman dari basse yang telah ditetapkan.
Disamping itu pula maka untuk mempererat tali persaudaraan maka disepakati bahwa  antara kedua belah pihak harus ada perkawinan silang antara makale dan mengkendek.
 Kemudian sebagai tindak lanjut dari perkawinan silang tersebut maka anak puang tarongko yaitu puang Andilolo berapa kali kawin  ke mengkendek dan puang laso’ Torantu dari mengkendek kawin dengan anak puang andilolo dari tongkonan bungin makale. Begitu pula dengan puang Tondon kawin  dengan puang lai’ Sirande dari mengkendek dan anak puang andilolo dari tongkonan bungin makale yaitu puang mendedek kawin ke Pangrorean mengkendek dan beberapa keluarga lain yang mengadakan perkawinan silang antara makale dan mengkendek.
Beberapa tahun kemudian setelah selesainya perang saudara tersebut maka Belanda mulai masuk ke Tana Toraja.. Dalam menjalankan pemerintahannya, belanda mengajak puang tarongko untuk bekerja sama membangun kota makale sebagai pusat pemerintahan  di Tana Toraja.
Ajakan pemerintah belanda tersebut disambut baik oleh puang tarongko sehingga dia menyerahkan sebagian tanah dan sawahnya  untuk diserahkan ke pemerin tah belanda sebagai tempat untuk membangun sarana dan prasarana pemerintahan berupa :kantor-kantor pemerintah,gedung pendidikan, tempat ibadah, pasar dan pertokoan, perumahan pegawai, lapangan sepak bola dan kolam yang saat ini merupakan tempat yang  turut memperindah kota makale.
Sebagai tanda ucapan terima kasih atas penyerahan sebagian sawah dan tanah keringnya  untuk tempat pembangunan sarana dan prasarana pemerintah tersebut maka pemerintah belanda menganugerahkan tanda penghargaan tertinggi berupa tanda Bintang kepada puang tarongko  dan sekaligus mengangkat puang Tarongko sebagai kepala Distrik pertama di Makale ..
Setelah puang tarongko meninggal maka dia digantikan oleh anaknya yaitu puang Tondon (Puang A Ranteallo). Puang tarongko dimakamkan bersama sama  dengan  orang tuanya di pemakaman raja-raja makale di  Buntu Tondon Makale.
Demikian Riwayat hidup singkat dari puang Tarongko atau puang Laso’ Sesa, sebagai  seorang yang sangat  dermawan dan sangat berjasa dalam membangun kota Makale dan sekitarnya sebagai pusat pemerintahan dan pusat pemukiman masyarakat  di Makale.






RIWAYAT HIDUP PUANG BULLU MATUA

Puang  Bullu Matua  adalah seorang pemberani  yang sangat sakti dan terkenal dengan tengko batunya yang menjadi andalannya dalam mempertahankan diri dari serangan musuh. Puang Bullu Matua juga merupakan nenek dari  Puang Tarongko.

Puang Bullu Matua  lahir  dari  ibu bernama Puang Tumba’ Kaise’ dari Tongkonan Batualu  sangalla’ dan  ayah bernama Puang  Lanjang Dolo yang merupakan anak dari Puang Galugu dari Tongkonan Layuk Kaero  sangalla’ dan Puang Tumba’ Lanjang  dari Tongkonan Layuk Tondon Makale.

Puang Bullu Matua  tinggal di tongkonan Layuk Pantan makale dan pada saat  dia kawin dengan Puang Tumba’ Bitti’ Langi’, cucu dari Puang Palaga di Tarongko, maka dia lebih banyak menetap di Tongkonan Layuk Tarongko Makale. Dari hasil perkawinannya  dengan Puang Tumba’ Bitti’ Langi’,  mereka  dikaruniai  3(tiga) orang anak yaitu :  Puang  Bitti’ Langi’,  Puang Kana’  dan Puang Makaun Allo (gugur dalam perang saudara).

Puang Bitti’ Langi’( anak pertama) kawin dengan Puang Tumba’ Pakolean (cucu dari Puang Rambu Langi’ dari Tongkonan Layuk  Pangi) dan melahirkan Puang  Tiang Langi’  yang merupakan  nenek dari puang  Tarongko.

Puang  Tiang Langi’ juga menurunkan Puang Lando Rundun   yang sangat terkenal   dengan kecantikannya dan  mempunyai rambut yang  sangat panjang.   Pada saat dia mandi di sungai sa’dan , dia menyisir rambutnya dan sisa rambutnya dimasukkan kedalam kendi yang terbuat dari buah pohon bila,tetapi kendi yang berisi rambut  dengan panjang  7 depa, 7 hasta dan 7 jengkal tersebut  hanyut dibawah air  sun gai sa’dan  dan ditemukan oleh  Puang  Tomasaju , Puang Endekan  ke I atau Arung Buttu Endekan  I , di pertemuan  sungai mata allo dan sungai  sa’dan  didaerah enrekang.   Karna  Puang Tomasaju  penasaran  melihat rambut panjang tersebut ,maka dia menelusuri   sungai sa’dan  sehingga dia sampai di makale dan bertemu dengan Puang Lando Rundun.  Setelah dia kawin dengan Puang Lando rundun maka  dia membawa Puang Lando Rundun   ke kerajaan enrekang  dan  sesampainya disana  Puang Lando Rundun  biasa  dipanggil Puang  Manggawari oleh masyarakat enrekang.

Setelah  mereka   hidup berkeluarga  di enrekang maka  keduanya meninggal dan dikuburkan di pemakaman raja raja endekan yaitu  pekuburan  Puang Buttu Endekan.

 Dengan perkawinan ini maka terjalin kembali  kekerabatan antara  keluarga Tomanurung Puang Wallang Dilangi’ dan Tomanurung  Puang Palipada  di kerajaan enrekang  dan  keluarga kerajaan   Tomanurung Puang Tamboro Langi  di daerah matari’ allo, lepongan bulan.  

Puang Bullu Matua sering mengalami hambatan dan tantangan dalam kehidupannya, salah satu diantaranya  adalah terjadinya perselisihan dengan Puang Raya Sampin. Peristiwa  perselisihan ini dimulai pada saat Puang Raya Sampin melaksanakan upacara adat Ma’bua’ Kasalle  di tongkonan layuk Kaero, maka sebagai tanda persaudaraan  puang bullu matua membawa babi besar  yang bertaring untuk disumbangkan  dalam pesta adat tersebut.  Yang dipercayakan untuk mengantar babi besar tersebut adalah dua orang suruhannya yaitu  Tamba Koka dan Pasele. Namun dalam perjalanan menuju lokasi pesta adat itu yaitu  setelah mereka sampai di daerah sekitar waisun, burake makale, maka  kedua orang tersebut menukar babi besar tadi dengan babi betina kecil dengan maksud untuk mengadu domba puang bullu matua dengan puang raya sampin.

Pada waktu rombongan puang bullu matua memasuki  arena upacara, maka sambil berjalan salah satu dari kedua orang tersebut menusuk pantat babi betina kecil tersebut sehingga meringis kesakitan dengan  mengeluarkan suara yg sangat keras. Suara babi tersebut menarik perhatian masyarakat yg hadir  dalam acara tersebut , termasuk puang raya sampin dan keluarganya.

Karena dianggap sebagai penghinaan karena membawa babi betina kecil, maka  kedatangan rombongan tersebut  dibiarkan  begitu saja dan tidak dihormati  atau disambut  sebagaimana mestinya  .  Juga  tidak ada komentar   to minaa (singgi ‘) atas kedatangan rombongan puang bullu matua  , karena mereka merasa jengkel   atas perlakuan tersebut.

            Setelah acara selesai maka kedua orang tersebut pulang kemakale untuk melaporkan hasil perjalanannya kepada  puang bullu matua.  Pada saat kedua orang tersebut akan melapor, puang bullu matua saat itu sedang berada di  tongkonan layuk tarongko dan berada dipinggir sungai  berdiri diatas batu cadas( batu papan) untuk melihat kerbau belangnya yg sementara direndam di sungai. Setelah puang bullu melihat kedatangan kedua orang tersebut, maka dia langsung menanyakan bagaimana isi singgi’( komentar tomina) terhadap keikutsertaan kita dalam acara pesta adat tersebut. Namun kedua orang itu mengatakan bahwa singgi’ kita sangat memalukan puang bullu dan saudara saudaranya karena menghina puang bullu dan saudara saudaranya  dengan singgi’ sbb: Tambakoka raka ia, pasele dengka tumati,puang bullu  tibullu porrokna, puang tandi pa tandi lalikan, puang pagunturan guntu’ dapo’ dll. Mendengar laporan tersebut maka puang bullu matua langsung marah dan menghentakkan kakinya(mentarassa) diatas batu cadas tempat dia berdiri, sehingga buah pohon enau (baluluk) dan buah kelapa  yg ada disekitar lokasi tersebut berjatuhan dari pohonnya dan bekas hentakan kakinya berlobang . Lobang bekas hentakan kakinya membekas diatas batu cadas(batu papan) menyerupai telapak kaki dan dapat dilihat oleh generasi  berikutnya sebagai saksi sejarah.

Setelah puang bullu  matua kembali ke rumahnya, maka dia memanggil saudara saudaranya dan panglima perangnya untuk menyusun kekuatan  untuk menyerang puang raya sampin sebagai balas dendam atas penghinaan yg dilakukannya . 

Ada  versi lain yang mengatakan bahwa perselisihan antara Puang Bullu Matua dan Puang  Raya Sampin  sebenarnya sudah ada sejak Puang Pabuaran Dolo yang merupakan ayah dari Puang Raya Sampin dilantik  menjadi  Puang Tomatasak  XII di kalindo bulanan  di  Kaero dan bukan Puang Lanjang Dolo , ayah dari Puang Bullu Matua  yang  merupakan kakak dari Puang Pabuaran Dolo.   Jadi  persoalan singgi’ hanya factor pemicu saja dalam perang saudara ini , karena  sebenarnya  penyebab utamanya  adalah perebutan kekuasaan .

Sebelum mengadakan serangan,  Puang Bullu Matua  mengirim mata mata  untuk mengetahui kekuatan pasukan puang raya sampin. Setelah mata mata itu kembali, dia menceritrakan bahwa pasukan puang raya sampin sangat kuat dan sulit untuk dikalahkan karena dia mempunyai  pertahanan yang berlapis lapis dan kepala pasukan nya(to barani) yang bernama  Kalumpini Rante ,  sangat kebal dan tidak bisa ditembus oleh tombak dan parang, karena mempunyai jimat jimat yg dililitkan dipinggangnya. Disamping itu pula kalumpini rante ini bisa melompat dari bubungan rumah ke bubungan rumah yg lain  untuk menyerang musuh atau menghilang apabila dia dalam keadaan bahaya. Bahkan  dia bisa melompat dari satu pohon ke pohon lainnya  sambil menyerang musuh.

Mendengar laporan tersebut maka puang bullu  matua merencanakan untuk membunuh kalumpini rante terlebih dahulu sebelum menyerang puang raya sampin dan pasukannya.

Maka disusunlah rencana pembunuhan kalimpini rante dengan cara mencuri babi besar yg bertaring milik masyarakat sangalla’ termasuk babi puang raya sampin yg dipelihara oleh masyarakatnya. Babi curian tersebut setelah dimasak(dipiong) maka kulit pa’piongnya dan taring(tora) babinya ditumpuk dirumpun bambu dibelakang rumah kalumpini rante. Tumpukan kulit pa’piong dan taring babi tersebut disembunyikan sedemikian rupa sehingga tidak diketahui oleh kalumpini rante. Hal ini dilaksanakan setiap malam sehingga babi babi besar milik masyarakat dan puang raya sampin hampir habis dan tumpukan kulit pa’piong dibelakang rumah kalumpini rante  semakin banyak. Karena setiap hari masyarakat selalu melaporkan kehilangan babinya, maka puang raya sampin memerintahkan pasukannya untuk mengadakan penyelidikan dan menangkap pencurinya. Namun setelah diselidiki, ternyata kalumpini rante yang ditetapkan sebagai pelaku pencurian, karena terbukti dirumpun bambu dibelakang rumahnya tertumpuk kulit pa’piong dan taring babi yang banyak sekali.

Mendengar berita ini puang raya sampin menjadi sedih dan bingung karena kalau kalumpini rante dibunuh maka mereka akan kehilangan tobarani yg merupakan tulang punggung pasukannya, tetapi kalau dibiarkan hidup  maka babi babi besar milik masyarakat akan habis dicuri.  Setelah dirundingkan dengan tokoh tokoh adat maka diputuskan bahwa kalumpini rante harus dibunuh  untuk kepentingan masyarakat yg  sudah mulai  resah.

Untuk membunuh kalumpini rante,ternyata tidak ada seorang pun yang berani, karena disamping dia kebal terhadap senjata tajam, dia juga apabila dalam keadaan bahaya  bisa dengan secepat kilat melarikan diri dan menghilang masuk hutan, sehingga sangat berbahaya bagi  setiap orang yang ingin membunuhnya.

Pada suatu acara rambu solo’ yang dilaksanakan oleh keluarga puang raya sampin, kebetulan ditengah tengah lokasi upacara tumbuh pohon pinang yang sangat besar dan sudah sangat tinggi /tua sehingga sudah susah untuk dipanjat.Kesempatan ini dimanfaatkan untuk  membujuk kalumpini rante agar  memanjat pinang ini dengan alasan tidak ada lagi orang lain yang berani memanjat pohon ini  kecuali kalumpini rante.

 Hal ini diterima baik  oleh kalumpini rante sebagai kebanggaan  untuk memperlihatkan kemampuannya didepan masyarakat banyak. Sebelum memanjat pinang tersebut maka dia dibujuk untuk melepaskan  jimat jimatnya  yg melingkar dipinggangnya dengan alasan  supaya tidak mengganggu kecepatannya untuk memanjat  pohon pinang tersebut. Hal ini dapat diterima oleh kalumpini rante. Setelah dia melepas jimat jimatnya,  dia mulai naik dengan secepat kilat dan mengambil  buah pinang yang ada diatas. Kemudian dibagian bawah  dari batang pohon pinang tersebut dipasang sura yaitu bambu runcing  yang sudah diberi racun.Setelah dia  turun membawa pinang  yg sudah didapat , maka beberapa prajurit yg sudah  disiapkan langsung menombak tubuh kalumpini rante  sehingga dia langsung jatuh diatas sura tersebut  sehingga langsung  meningggal ,karena jimat jimat yg melekat ditubuhnya sudah  tidak ada lagi. Setelah kalumpini rante meninggal maka masyarakat langsung bersorak sorai karena pencuri yg selama ini mencuri babi mereka sudah meninggal.

Mendengar kematian kalumpini’ rante , maka puang bullu matua  memerintahkan pasukannya untuk segera menghentikan pencurian babi di sangngalla’ supaya puang raya sampin percaya bahwa yg mencuri babi selama ini adalah kalumpini ‘ rante.

Setelah kalumpini’ rante  meninggal maka puang bullu matua  mulai menyusun strategi untuk menyerang puang raya sampin di tongkonan layuk kaero. Setelah persiapan sudah dianggap cukup maka dimulailah perang melawan puang raya sampin sehingga pecahlah perang saudara yang kedua di Tanah Toraja yang disebut Rari Tosangtaran Lolo ma’penduanna.

Serangan ini  dilakukan dengan tiba-tiba dan  sengaja dilaksanakan  pada saat puang raya sampin sementara melaksanakan   pesta adat perkawinan  keluarganya di sangalla’.

Perang ini berlangsung cukup lama, tetapi pada akhirnya pasukan puang raya sampin dapat dipukul mundur kedaerah sekitar tongkonan layuk kaero.  Hal ini disebabkan karena puang raya sampin tidak menyiapkan perang untuk waktu yg cukup lama  karena tidak mengetahui  ada musuh yang akan menyerang  mereka dengan tiba tiba. Disamping itu pula kalumpini’ rante yang sangat ditakuti dan menjadi andalan/tulang punggung pasukan  mereka telah meninggal.

Dengan dikepungnya tongkonan layuk kaero dari segala arah maka untuk  memukul mundur pasukan puang bullu matua dan sekaligus melepaskan  tongkonannya dari kepungan musuh, maka salah satu anak dari puang raya sampin turun  langsung  dibarisan depan  untuk  ikut bertempur  memimpin pasukannya, namun  dia tewas dalam pertempuran tersebut.

Dengan kematian anaknya maka puang raya sampin sangat berduka dan langsung menghentikan pertempuran tersebut dan meninggalkan tongkonan layuk kaero  menuju ke daerah perbatasan toraja dengan palopo yaitu daerah sekitar   palopo selatan. Dengan kepergian puang Raya Sampin tersebut maka Tongkonan Layuk Kaero langsung dibawah penguasaan  puang Bullu Matua.

Namun demikian meskipun puang raya sampin kalah dalam peperangan tersebut dan anaknya meninggal dalam pertempuran , tetapi dia telah bersumpah untuk suatu saat nanti  akan mengadakan serangan balasan ke makale sampai salah satu anak dari puang bullu matua terbunuh .

Untuk mempersiapkan serangan balasan tersebut maka puang raya sampin   membentuk pasukan yg cukup besar  didaerah perbatasan dan secara diam diam juga mengkoordinir kembali  sisa sisa pasukannya yg setia kepadanya di sangalla dan melengkapinya dengan peralatan perang. Persiapan ini  cukup lama dan memakan waktu bertahun tahun.

Setelah persiapan perang sudah dianggap cukup maka dimulailah serangan balasan ke makale.  Karena puang bullu matua  dianggap  seorang yang sangat sakti  terutama dengan tengko batunya, maka Serangan ini dilakukan  secara diam diam  dan mencari waktu tepat  pada saat puang bullu matua sementara melaksanakan pesta adat rambu solo karena ada  salah seorang keluarganya yang meninggal.

Karena pasukan puang bullu matua diserang dengan tiba tiba maka pada awal pertempuran ini dapat dimenangkan oleh puang raya sampin sehingga pasukan puang bullu matua dapat dipukul mundur sampai didaerah sekitar tongkonan layuk tarongko dan tongkonan ini hampir saja direbut oleh pasukan puang raya sampin.

Namun dengan  kesaktiannya  bersama tengko batunya dan  pengalaman yang cukup banyak dalam peperangan ,maka sambil bertahan puang bullu matua bersama dengan anak- anaknya dan saudara-saudaranya  mulai  mengkonsolidasikan seluruh pasukannya dan merekrut pasukan tambahan dari  berbagai kampung, kemudian dia melakukan  serangan balasan , sehingga pasukan puang raya sampin dapat dipukul mundur kembali sampai di daerah  lea /lion  dekat  kampung turunan yaitu daerah perbatasan antara tondon makale dengan sangngalla’.

Pasukan puang raya sampin yang mendapat  tambahan pasukan  dari sangngalla’ mulai bertahan di tempat ini sehingga terjadilah perang habis habisan yang menyebabkan gugurnya ratusan prajurit terbaik dari kedua belah pihak, termasuk salah satu anak dari puang bullu matua yaitu puang  Makaun Allo,  gugur  dalam pertempuran  ini , karena dia ikut memimpin pasukannya  dalam serangan balasan  tersebut.

Mendengar berita bahwa anaknya meninggal dalam pertempuran dan kepalanya tidak ditemukan lagi karena  dibawa lari oleh pasukan musuh, maka puang bullu matua sangat sedih dan marah besar sehingga dia memutuskan untuk  ikut langsung bertempur dibarisan depan . Hal ini menyebabkan  pasukan puang bullu matua bertambah semangat , termasuk masyarakat makale yg tanpa diperintah  ikut menawarkan diri untuk  maju ke medan perang   bertempur habis habisan  untuk  membalas dendam atas kematian puang makaun allo, sehingga puang raya sampin dapat dikalahkan  dan mengundurkan diri kembali ke sangalla’.

Untuk menghindari terjadinya perang susulan yg mungkin terjadi dikemudian hari maka puang Mengkendek turun tangan sebagai penengah dan mengundang kedua belah pihak untuk berdamai. Didalam pembicaraan perdamaian tersebut baru terungkap bahwa dalang dari perang saudara ini adalah kedua orang tersebut yaitu  tamba koka dan pasele, karena puang bullu matua tidak pernah  mengirimkan babi betina kecil dalam pesta adat ma’bua’ kasalle  yang dilaksanakan oleh puang raya sampin. Begitu pula dengan singgi yang disampaikan dalam pesta adat tersebut tidak pernah sampai menjelek jelekkan puang bullu matua dan saudara saudaranya, tetapi itu hanya hasil rekayasa dari kedua orang tersebut.

Agar perang saudara ini tidak terulang lagi dikemudian hari, maka diadakanlah perdamaian antara kedua belah pihak dengan mengadakan tananan basse dan mengangkat sumpah keramat dengan menguburkan seekor kerbau jantan bertanduk tekken langi’. Kemudian disepakati bahwa mulai saat itu perang dianggap selesai  dan tidak boleh lagi terjadi perang antara makale dan sangngalla’ dan barang siapa yg lebih dulu menyerang akan mendapat hukuman dari basse yang telah ditetapkan.  Dengan adanya basse ini maka tidak pernah lagi terjadi perang antara makale dan sangngalla’ karena takut terhadap basse yang telah ditetapkan. Kemudian disepakati bahwa  kedua orang yang  menjadi biang keladi  penyebab terjadinya perang saudara  tersebut  harus dihukum mati .

Sebagai tindak lanjut dari hukuman mati terhadap kedua orang tersebut, maka keduanya ditangkap dan kepalanya dipancung dipinggir jalan didepan  Tongkonan puang Bullu Matua di Tongkonan  Layuk Pantan makale yaitu  daerah sekitar  pinggir jalan raya  menuju waisun burake makale.

Kepala dari kedua orang tersebut  digantung dipinggir jalan dan kaki serta tangannya dipotong potong dan dijadikan tongga’ pematang sawah (tana’ tampo uma ) dipinggir jalan tersebut, dengan maksud agar masyarakat yang lewat disitu dapat melihat bahwa orang yang berbuat jahat akan dihukum setimpal dengan perbuatannya sehingga mereka tidak mengikuti perbuatan dari kedua orang tersebut.

Setelah acara perdamaian selesai maka dilanjutkan dengan pesta pemakaman dari puang  makaun allo , yang meninggal dalam perang tersebut di daerah lea/lion, tondon makale. Acara pemakaman ini dilaksanakan secara besar besaran oleh puang bullu matua  untuk mengenang anaknya yang telah berkorban dalam pertempuran ini.

Kemudian pada dinding batu sebelah kanan dari tempat pelaksanaan pesta ini dibuatkan  liang untuk tempat pemakaman jenasah dan diatasnya diletakkan patung ( tau tau)  dari puang makaun allo yang kepalanya tidak ada(terpotong).

Kalau kita berjalan mengikuti jalan potong dari tondon makale menuju sangngalla’, maka kita akan  mendapati kampung  lea/lion dekat turunan sehingga kita dapat melihat patung (tau tau tanpa kepala) dari puang makaun allo pada dinding batu sebelah kanan di pinggir jalan tersebut.

Hal ini sengaja dibuat agar setiap orang yang lewat  disitu dapat melihat dan menjadi peringatan bahwa perang tidak ada manfaatnya dan hanya akan menimbulkan korban dari kedua belah pihak, terutama korban  jiwa dan korban  harta benda.

Pada masa tuanya  dimana  cucu-cucunya sudah mulai dewasa , maka puang bullu matua  membagi Kerajaan lepongan bulan menjadi 3(tiga) kerajaan diatas suatu landasan Sumpah yang disebut Basse Tallu Lembangna  yaitu Basse Kakanna ( Makale ), Basse Tangngana ( Sangngalla ) dan Basse Adinna ( Mengkendek ).

Demikianlah riwayat hidup singkat dari puang bullu matua  sebagai  seorang  pemberani yang sangat sakti dan terkenal dengan tengko batunya , yang menjadi andalannya   untuk mempertahankan diri dari serangan musuh.