Jumat, 12 Juni 2015

RIWAYAT HIDUP PUANG TARONGKO



Puang Tarongko tinggal di tongkonan  Mamullu Makale . Dia lahir dari ayah bernama Puang Mamullu  yang merupakan anak dari Puang Massora dari Tongkonan Tangti  Mengkendek  dan ibu bernama Puang Tumba’ Makongkan yang merupakan anak dari  Puang Tumba’ Payung Allo dari Tongkonan Tarongko  Makale dan Puang Makongkan dari Tongkonan Bebo’ sangngalla’. Puang Tarongko juga biasa dipanggil  Puang Laso’ Sesa karena sebenarnya dia mempunyai  beberapa saudara kandung , cuma semuanya meninggal pada waktu masih mudah sehingga tinggal  dia sendiri yang   hidup.
Puang Tarongko dalam kehidupan rumah tangganya beberapa kali menikah  ke berbagai  kampung di tallu lembangna terutama di Makale dengan tujuan untuk memperkuat kekuasaannya.
Perkawinan pertama dia kawin dengan tumba” Manukallo dari  Tongkonan Manggau Makale dan melahirkan Puang Manukallo  yang diberi gelar Puang Andi”Lolo oleh  bangsawan Kerajaan Sidenreng setelah diutus oleh puang tarongko ke daerah Bugis untuk mempelajari bahasa Lontara’ dan strategi perang.
            Perkawinan kedua dia kawin dengan Puang Tangnga Layuk dari  Tongkonan   Rante Dada Tampo mengkendek dan melahirkan Puang Indo’ Ranteallo, Puang Laso’ Tampo (Puang Pantan) dan Puang A .Ranteallo ( Puang Tondon).
Perkawinan ketiga dia kawin dengan Tumba’ Todingallo dari Tongkonan Batupapan  Makale  dan melahirkan Puang Toding Allo ( Puang Ranteallo ).
Perkawinan keempat dia kawin dengan Tumba’ Salu Rapa’ dari Tongkonan Lallangan Tondon Makale dan melahirkan Puang Sumbung Massora dan Puang Lai’ Tambing.
Perkawinan kelima dia kawin dengan Tumba’  Arung La”bi”( Tumba’ Kende’) dari Tongkonan Tambolang Sarira  Rantelemo , tapi tidak mendapatkan keturunan.
Perkawinan keenam dia kawin dengan Tumba’  Tongan  dari Tongkonan Borong, Sarira Rantelemo dan melahirkan Puang Lai’ Sa’dan.
Perkawinan ketujuh dia kawin dengan Tumba’ Datu Bubun dari Tongkonan To’pao Mandetek Makale dan melahirkan Puang Baratu.
Perkawinan kedelapan dia kawin dengan Tumba’ Pidun dari Mengkendek dan melahirkan Puang Sumbung ( Pidun ).
Perkawinan kesembilan dia kawin  dgn Tumba’  Liling dari Tongkonan  Makula’ sangalla’ tapi tidak menghasilkan keturunan.
Puang Tarongko dalam pemerintahannya banyak mengorbankan harta bendanya berupa tanah kering dan sawah untuk memperluas kota Makale.  Pada mulanya  tempat  yang bernama Ma’kale  adalah daerah disekitar Rante kasimpo, Kamali dan Batupapan.    Bombongan yang merupakan pusat kota Makale saat ini,  pada waktu itu sebagian besar masih  merupakan daerah persawahan,  kemudian  berkembang dengan dibentuknya  pemukiman baru di To’ Kaluku’/Paku/Tongkonan Ada’ ,  Mamullu, Kampung Pisang dan Kampung Baru , yang   menjadi pusat kota Makale  sekarang ini.
Puang Tarongko dikenal sebagai seorang yang  sangat baik hati dan  dermawan karena sering memberikan tanahnya kepada masyarakat yg tidak mempunyai tanah untuk membangun rumahnya  tanpa melihat asal usulnya; baik masyarakat asli toraja maupun pedagang-pedagang yang berasal dari  daerah bugis . Mereka  mendapatkan tanah untuk membangun rumahnya  di  to’ kaluku/paku, mamullu, kampung pisang  dan kampung baru  sekaligus membangun pasar untuk tempat berdagang, sehingga lama kelamaan berkembang menjadi  pusat kota makale sekarang ini.   Sebagai ucapan terima kasih atas pemberian tanah tersebut biasanya pedagang bugis atau masyarakat  memberikan rokok yang ditaruh dalam bambu (pelo’ pa’langga’) dan ikan kering(kandilo’ dll)  serta  barang-barang lain yg dibutuhkan pada waktu itu. Itulah sebabnya puang tarongko sangat disenangi oleh masyarakat terutama yang belummempunyai tempat tinggal disekitar makale.
Kolam yang ada saat ini pada mulanya merupakan sawah milik Puang Tarongko yang  setiap musim panen  hasilnya  berupa padi dan ikan   sengaja disumbangkan kepada masyarakat Makale dan sekitarnya .  Sawah ini setelah ditanami padi juga dimasukkan  bibit ikan . Pada waktu sudah mau panen  maka Puang  Tarongko mengumumkan kepada seluruh masyarakat  untuk datang beramai-ramai  memperebutkan padi dan ikan yang ada dalam sawah tersebut. Puang Tarongko sengaja membuat pondok ditengah-tengah sawah tersebut untuk menyaksikan pesta keramaian  , dimana dia melihat  masyarakat  memperebutkan padi dan ikan  yang ada dalam sawah tersebut. Karena pesta keramaian ini dilaksanakan secara rutin  setiap musim panen tiba, maka masyarakat yang hadir  bukan hanya masyarakat makale saja tapi  ada juga yang datang dari tempat  -tempat  lain. .
Setelah pemerintahan  kabupaten Tanah Toraja  terbentuk maka untuk memperintah kota Makale ,  pematang sawah tersebut ditembok sehingga menjadi kolam  dan ditengah-tengah kolam  tersebut  yang dulunya merupakan  tempat pembangunan pondok peristirahatan  Puang Tarongko, pada saat ini sudah dibangun tugu  berupa patung dari Puang Laki Padada  yang juga merupakan  nenek dari Puang Tarongko.
Puang laki Padada  beserta keluarga kerajaan yang tinggal di sangalla’  pada waktu itu , diserang  wabah penyakit yang  mematikan ( ra’ba biang ) menyebabkan banyak  keluarganya yang meninggal, sehingga untuk menghindari kematian yang meraja lelah tersebut,  maka  bukan saja Puang Laki Pada yang meninggalkan sangalla’, tetapi beberapa orang  keluarganya  yang  masih tersisa  melarikan diri dari  Toraja ( sangalla’ ) untuk mencari kehidupan (undaka’ tangmate) ke  beberapa daerah atau kerajaan, dan saat ini mereka sudah  susah dilacak keberadaannya  karena  sebagian  sudah tidak pernah kembali , karena  mungkin sudah kawin dengan masyarakat setempat dan  sudah berganti nama, karena adanya pemberian  nama  gelar atau mendapat nama panggilan baru menyesuaikan daerah yang ditinggali. Ada versi lain mengatakan bahwa eksodus  beberapa anggota keluarga kerajaan dari sangalla’ pada waktu itu, disamping wabah penyakit yang mematikan (undaka’ tangmate),  juga disebabkan  karena adanya perpecahan dalam tubuh kerajaan  di sangalla’ pada waktu itu.
            Puang Laki Padada  sendiri merupakan rombongan terakhir yang  meninggalkan sangalla’  untuk mencari kehidupan (undaka’ tangmate) dan dia  terdampar di Kerajaan Goa. Karena dia seorang pemberani dan sangat sakti  maka dia  disenangi oleh Raja Goa dan dia menikah dengan putri Raja Goa  yaitu Batari Lolo dan  diberi gelar Karaeng Bojoe  oleh Raja Goa .  Dia diberi gelar Karaeng Bajoe karena pada saat dia tiba dikerajaan goa, beberapa bagian tubuhnya  sudah ditumbuhi  lumut  karena sering menyebrangi sungai, rawah , bahkan  laut.          Dalam menyebrangi atau melewati sungai, rawa dan laut tersebut ,  puang Laki Padada sering dibantu oleh beberapa binatang seperti ikan belut besar(masapi) dan kerbau putih (tedong bulan)  dll, sehingga pada umumnya keturunannya tidak memakan binatang yang banyak membantu Puang Laki Padada  tersebut , karena adanya sumpah atau perjanjian  yang telah ditetapkan.
            Setelah anak-anaknya sudah mulai dewasa maka dia menyuruh anaknya yaitu Puang Patta La Bantan kembali ke Toraja untuk meneruskan kepemimpinan orang tuanya  dan  sesampainya disana dia  membangun Tongkonan Layuk Kaero . Untuk  melindungi dirinya dalam perjalanan dia dibekali  parang atau la’bo’ pinai yang sangat sakti dan beberapa harta warisan yang  saat ini masih  tersimpan di Tongkonan Layuk Kaero. Kemudian anaknya , Puang Patta La  Bunga pergi ke Kerajaan Luwu’ dan untuk melidungi diri dalam perjalanan dia diberi Tomba’  bermata/berkepala  tiga yang sangat sakti dan  beberapa harta warisan lainnya.
Pada saat puang sangngalla’ atau Puang Laso’ Rinding meninggal  dan dipestakan , maka rombongan dari Kerajaan Luwu’  yang datang  untuk ikut berbelah sungkawa dengan membawa Tomba’ bermata  tiga  tersebut  dan sempat diarak keliling arena upacara.
Kemudian anaknya,  Puang Patta La Merang tinggal di Kerajaan Goa bersama orang tuanya.  Ada versi lain mengatakan bahwa Puang Patta La Didi  yang pergi ke kerajaan Bone, juga merupakan anak dari Puang Lakipadada, sehingga sebenarnya dia mempunyai 4 org anak yang dikenal dengan istilah tallu pocoe, appa pada pada yang artinya tiga saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Hubungan keempat bersaudara ini sangat erat yang  dikenal dgn istilah: sombae ri gowa, pajuang ri luwu’, matasak ri toraja dan mangkau ri bone.
Jadi patung puang Laki Padada yang ada ditengah-tengah kolam tersebut merupakan simbol tentang adanya hubungan historis antara Toraja, Luwu’ , Bone dan Goa.
Untuk melestarikan budaya keramaian di kolam tersebut , maka seharusnya pemerintah Kabupaten Tanah Toraja melanjutkan  tradisi yang telah dirintis oleh puang Tarongko  yang telah menyerahkan sawahnya secara Cuma-Cuma untuk  tempat acara pesta keramaian dengan memasukkan bibit ikan dalam kolam tersebut dan pemanenan ikan bisa dilaksanakan dengan mengeringkan kolam  dan masyarakat  beramai-ramai  bisa memperebutkan ikan  dalam kolam tersebut  untuk memeriahkan   hari ulang tahun Kabupaten Tanah Toraja atau meramaikan hari Natal atau Tahun Baru  setiap Tahun.
Dalam menjalankan kekuasaannya Puang Tarongko banyak mengalami hambatan dan persaingan,  diantaranya adalah terjadinya perselisihan  dengan Puang  Mengkendek yaitu  Puang Randanan  yang disebabkan oleh banyak hal dan salah satunya adalah harta warisan., sehingga Puang Mengkendek  menyerang Puang Tarongko dengan pasukannya dan mengepung Tongkonan  Mamullu sebagai pusat pemerintahan dan markas pertahanan pasukan  Puang Tarongko.
Pada saat Tongkonan  Mamullu diserang dan dikepung oleh pasukan puang Randanan, puang Tarongko saat itu berada di Sarira Rantelemo karena dia kawin dengan Tumba’ Arung La’bi’ dari Tongkonan  Tambolang  Rantelemo .
Setelah Puang Tarongko mendengar bahwa Tongkonannya diserang dan dikepung oleh pasukan Puang Randanan, maka dia memerintahkan pasukannya yang ada disana untuk bertahan dan Puang Tarongko mengkoordinir pasukan dari Sarira Rantelemo yaitu dari Tongkonan Biang, tongkonan Karassik, Tongkonan Tambolang , Tongkonan Timika , Tongkonan Borong  dan Tongkonan Sarre dibawah pimpinan Ne’ Bua’ Tasik, Ne’ Tangke Tasik, Ne’ Toding Bua’ , Ne’ Senobua’ ,Ne’ Payung dan semua  Tobarani termasuk  dari limbu sarira rantelemo untuk berangkat ke tongkonan  mamullu untuk membantu pasukan puang tarongko yang sudah ada disana yang sementara berperang mempertahankan tongkonan  mamullu dari serangan musuh.
Dengan kedatangan pasukan tambahan dari rantelemo tersebut maka terjadilah perang yang cukup dahsyat yang menyebabkan pecahnya perang saudara antara Makale dan Mengkendek pada waktu itu.
Namun karena diserang dengan tiba-tiba maka puang tarongko tidak bisa mempersiapkan perang dalam waktu yg cukup lama, sehingga karena kehabisan peluru dan perlengkapan perang lainnya maka puang tarongko memutuskan untuk mengundurkan diri dulu kembali ke rantelemo untuk mempersiapkan serangan balasan. Memang tidak sama dengan perang saudara sebelumnya yang masih mengandalkan parang, tombak dan senjata tajam lainnya sebagai peralatan perang, namun pada perang saudara kali  ini sudah mulai  menggunakan senjata api  yang harus dibeli dulu dari daerah daerah Bugis.
Setelah  puang tarongko meninggalkan tongkonan mamullu maka puang randanan dan pasukannya langsung merebut tongkonan mamullu dan mendudukinya. Puang tarongko pada saat mengundurkan diri meninggalkan tongkonan mamullu dan melewati pematang sawah saluaka, maka pasukan puang randanan sempat mengejar dan melepaskan tembakan sehingga peluru mengenai jari tangan dari istri puang tarongko tumba’ Arung La’bi’ sehingga cincinnya terlepas   dari jari tangannya dan jatuh kedalam sawah saluaka. Tumba’ Arung La’bi’  mencoba mencari cincin kesayangannya yang sangat mahal tersebut, tetapi karena pasukan puang randanan mengejar dari belakang , maka pencarian cincin dihentikan dan terus melanjutkan perjalanan. Untuk menghentikan pengejaran tersebut maka pasukan puang tarongko mengadakan serangan balasan sehingga pasukan puang randanan menghentikan pengejarannya.
Setelah puang tarongko tiba kembali di rantelemo maka dia memanggil  panglima perangnya dan anak-anaknya  yang pada saat penyerangan  tdk berada di kota makale , untuk mempersiapkan serangan balasan dan  merebut kembali tongkonan mamullu dari kekuasaan pasukan puang  Randanan.
Pasukan yang dipersiapkan oleh puang tarongko ini merupakan  pasukan gabungan yang terdiri dari pasukan yang dipimpin oleh  anak-anaknya ( puang andilolo, puang tondon/puang pantan, puang todingallo dan anak-anaknya yg lain) dan dibantu oleh pasukan dari tongkonan tambolang  dan tobarani dari sarira rantelemo serta masyarakat makale yang ikut berperang untuk mengusir pasukan puang mengkendek  yang telah menduduki tongkonan mamullu.
Sebagai informasi bahwa  pasukan dari tongkonan tambolang  dan tobarani dari  sarira  rantelemo ini, dikemudian hari pernah terkenal karena berperang dengan pedagang-pedagang dari  kerajaan sidenreng yang dipimpin oleh uwa’ situru’ yang biasa dipanggil andi guru. Perang ini dipicu oleh kesalah pahaman pada saat pesta sabung ayam dan judi yang dilaksanakan di buntang rantelemo. Dalam permainan judi tersebut beberapa  orang pasukan dari tambolang ikut main  judi , namun  terjadi perselisihan  dengan pedagang-pedagang dari sidenreng , sehingga menyebabkan pecahnya perang antara pedagang-pedagang sidenreng yg dipimpin andi guru dan pasukan dari tongkonan tambolang  sarira rantelemo dan sekitarnya.
Pasukan  yang dipimpin andi guru  tersebut  karena jumlahnya  masih terbatas maka mereka mulai terdesak sehingga meminta bantuan pasukan dari kerajaan sidenreng, sehingga datanglah pasukan dari kerajaan sidenreng yang langsung dipimpin oleh panglima perangnya. Sebelum berangkat ke tambolang rantelemo maka panglima perang kerajaan sidenreng tersebut , katanya ditest dulu  kekebalannya dgn membuka bajunya dan  ditembak di bagian dadanya   tidak bisa ditembus peluru.
Namun sesampainya di rantelemo  untuk membantu pasukan pedagang-pedagang sidenreng dan mulai menyerang tongkonan tambolang  sarira rantelemo  dan sekitarnya ,maka dia tewas  bersama dengan  sejumlah pasukannya dalam pertempuran tersebut akibat terlindas oleh batu-batu besar yang sengaja digulingkan dari arah tongkonan tambolang   sebagai salah satu senjata ampuh untuk membunuh pasukan lawan yang akan mencoba menyerang pusat pertahanannya. Pasukan inilah yang sebelumnya  pernah  membantu pasukan puang tarongko memerangi pasukan puang randanan.
Sebelum melaksanakan serangan balasan maka puang tarongko dan anak-anaknya membeli  peralatan perang berupa senjata api dan peluru yang cukup banyak  dari pedagang bugis untuk memperkuat pertahanannya.
Setelah persiapan perang sudah dianggap cukup maka dimulailah serangan balasan yang langsung dipimpin  oleh puang tarongko. Begitu mendapat serangan balasan maka pasukan puang randanan mencoba untuk bertahan. Namun karena kalah dalam jumlah pasukan maka pasukan puang randanan dapat dipukul mundur meninggalkan tongkonan mamullu  dan mengundurkan diri sampai didaerah perbatasan antara makale dan mengkendek.
Puang randanan yang mendapat tambahan pasukan dari mengkendek mulai bertahan didaerah perbatasan tersebut sehingga terjadilah perang habis-habisan yang menyebabkan gugurnya banyak pasukan dari kedua belah pihak. Puang tarongko yang merasa mendapat perlawanan sengit didaerah perbatasan tersebut mencoba mendatangkan pasukan tambahan dari makale sehingga pasukan puang randanan dapat dipukul mundur sampai didaerah sekitar tongkonan puang randanan di mengkendek  dan bahkan tongkonan puang randanan tersebut dapat diduduki  dan dikuasai oleh pasukan puang tarongko dan anak-anaknya.
Untuk merebut kembali tongkonannya yang telah diduduki oleh pasukan puang tarongko dan anak-anaknya maka puang randanan mengkonsolidasikan pasukannya dengan merekrut pasukan tambahan untuk mengadakan serangan balasan untuk mengusir pasukan puang tarongko.
Untuk menghindari perang yang akan berkelanjutan tersebut maka puang  sangngalla’  (puang limbu langi’) turun tangan sebagai penengah dan mengundang kedua belah pihak untuk berdamai. Namun puang randanan mengajukan persyaratan sebelum masuk kemeja perundingan yaitu pasukan puang tarongko harus ditarik mundur dulu kedaerah perbatasan baru perundingan bisa dilaksanakan. Kalau tidak maka puang randanan akan melanjutkan peperangan.
Untuk menghentikan peperangan yang akan berkelanjutan tersebut maka puang  sangalla’ membujuk puang tarongko dan anak-anaknya agar menarik pasukannya ke daerah perbatasan.  Hal ini dengan berat hati disetujui oleh puang tarongko dan anak-anaknya. Setelah penarikan pasukan ke daerah perbatasan  tersebut dilaksanakan , maka perundingan bisa terlaksana  dan perdamaian bisa tercapai.
Agar perang saudara ini tidak terulang kembali dikemudian hari maka diadakanlah tananan basse dan mengikat sumpah keramat dengan mengubur seekor kerbau bertanduk tekken langi’. Kemudian disepakati bahwah perang dianggap selesai dan barang siapa dari kedua belah pihak yang menyerang lebih dahulu maka akan mendapat hukuman dari basse yang telah ditetapkan.
Disamping itu pula maka untuk mempererat tali persaudaraan maka disepakati bahwa  antara kedua belah pihak harus ada perkawinan silang antara makale dan mengkendek.
 Kemudian sebagai tindak lanjut dari perkawinan silang tersebut maka anak puang tarongko yaitu puang Andilolo berapa kali kawin  ke mengkendek dan puang laso’ Torantu dari mengkendek kawin dengan anak puang andilolo dari tongkonan bungin makale. Begitu pula dengan puang Tondon kawin  dengan puang lai’ Sirande dari mengkendek dan anak puang andilolo dari tongkonan bungin makale yaitu puang mendedek kawin ke Pangrorean mengkendek dan beberapa keluarga lain yang mengadakan perkawinan silang antara makale dan mengkendek.
Beberapa tahun kemudian setelah selesainya perang saudara tersebut maka Belanda mulai masuk ke Tana Toraja.. Dalam menjalankan pemerintahannya, belanda mengajak puang tarongko untuk bekerja sama membangun kota makale sebagai pusat pemerintahan  di Tana Toraja.
Ajakan pemerintah belanda tersebut disambut baik oleh puang tarongko sehingga dia menyerahkan sebagian tanah dan sawahnya  untuk diserahkan ke pemerin tah belanda sebagai tempat untuk membangun sarana dan prasarana pemerintahan berupa :kantor-kantor pemerintah,gedung pendidikan, tempat ibadah, pasar dan pertokoan, perumahan pegawai, lapangan sepak bola dan kolam yang saat ini merupakan tempat yang  turut memperindah kota makale.
Sebagai tanda ucapan terima kasih atas penyerahan sebagian sawah dan tanah keringnya  untuk tempat pembangunan sarana dan prasarana pemerintah tersebut maka pemerintah belanda menganugerahkan tanda penghargaan tertinggi berupa tanda Bintang kepada puang tarongko  dan sekaligus mengangkat puang Tarongko sebagai kepala Distrik pertama di Makale ..
Setelah puang tarongko meninggal maka dia digantikan oleh anaknya yaitu puang Tondon (Puang A Ranteallo). Puang tarongko dimakamkan bersama sama  dengan  orang tuanya di pemakaman raja-raja makale di  Buntu Tondon Makale.
Demikian Riwayat hidup singkat dari puang Tarongko atau puang Laso’ Sesa, sebagai  seorang yang sangat  dermawan dan sangat berjasa dalam membangun kota Makale dan sekitarnya sebagai pusat pemerintahan dan pusat pemukiman masyarakat  di Makale.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar